Dihantam Covid-19, Industri Properti Butuh Kebijakan Extraordinary

Industri properti merasakan dampak yang sangat besar dimana untuk subsektor hotel tingkat hunian (okupansi turun) sudah turun 90%, penyerapan ruang ritel/mall anjlok 75%, penyerapan perkantoran turun 74,6%, dan penjualan rumah komersial anjlok 50%.
JAKARTA –IH: INDUSTRI properti selama ini telah berperan penting di dalam mendorong perekonomian nasional. Namun sejak merebaknya virus Covid-19 kondisi industri ini sangat memprihatinkan, dimana penjualan menurun drastis dan banyak pengembang terancam gulung tikar. Karena itu, dibutuhkan kebijakan luarbiasa (extraordinary) untuk menyelamatkan industri properti nasional.
Selain membawa multiplier effect terhadap hampir 175 industri ikutan lain, keseluruhan pekerja yang terlibat di industri ini diperkirakan mencapai 30,3 juta orang, sehingga signifikan bagi struktur ekonomi nasional. Di sisi lain, industri properti memiliki 90% kandungan material lokal, bahkan 100% kandungan lokal untuk rumah sederhana bersubsidi.
Untuk itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan supaya industri properti nasional tetap terjaga keberlangsungannya.
“Dampak Covid-19 membawa implikasi besar bagi industri properti nasional. Penjualan yang turun drastis dan ancaman pailit menjadi salah satu kemungkinan pahit yang bisa terjadi sewaktu waktu. Karenanya extraordinary effort menjadi kunci supaya sektor properti dapat bertahan menghadapi era panjang pandemi Covid-19 ini,” ujar Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida pada acara webinar bertema “Akselerasi Pemulihan Properti: Mencari Kebijakan Properti yang Extraordinary” di Jakarta, Kamis (23/7/2020).
Saat ini, ungkap dia, industri properti merasakan dampak yang sangat besar dimana untuk subsektor hotel tingkat hunian (okupansi turun) sudah turun 90%, penyerapan ruang ritel/mall anjlok 75%, penyerapan perkantoran turun 74,6%, dan penjualan rumah komersial anjlok 50%.

Paulus Totok Lusida, Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI).
Meski sekarang sudah memasuki masa penerapan “new normal” namun tidak memungkinkan perusahaan properti untuk mencapai revenue seperti masa normal sebelum Covid-19 merebak. Menurut Totok, rata-rata revenue perusahaan maksimal hanya 50% dari kondisi normal. Sementara perusahaan tetap dibebani kewajiban yang sama seperti di masa normal sehingga dikhawatirkan banyak perusahaan yang akan kolaps.
“Masalahnya kondisi ini tidak pasti kapan akan berakhir, mungkin bisa sampai 2-3 tahun ke depan. Untuk itu, kami dari REI menyambut baik restrukturisasi dan relaksasi yang dilakukan pemerintah, meski faktanya implementasi berbagai kebijakan tersebut belum optimal,” ungkap Totok.
Supaya kebijakan relaksasi dapat benar-benar dirasakan oleh industri nasional, maka REI berharap pemerintah menerapkan kebijakan yang tidak biasa dan luarbiasa (extraordinary) khususnya bagi sektor properti yang meliputi kebijakan perbankan, ketenagakerjaan, pajak, retribusi, perizinan dan energi.
Diskusi daring diprakarsai DPP REI ini diikuti juga oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil dan Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR Eko Heripoerwanto yang mewakili Menteri PUPR Basuki Hadimuljono.
Hadir pula sejumlah pengembang besar nasional dan senior REI antara lain Pendiri Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma, CEO Lippo Group James Riady, Direktur Utama PT Intiland Development Tbk Hendro Gondokusumo, CEO/Executive Director Sinarmas Land Muktar Widjaja, dan Direktur PT Ciputra Development Tbk Budiarsa Sastrawinata.
Selain itu ada Direktur PT Summarecon Agung Tbk Herman Nagaria, Direktur Utama PT PP Properti Tbk Taufik Hidayat, Presiden Direktur PT Pakuwon Jati Tbk Stefanus Ridwan, dan Direktur Utama Perum Perumnas Budi Saddewa. (*)